Larangan Ziarah ke makam Sunan Katong dan pakuwojo secra bersama

LARANGAN ZIARAH KE MAKAM SUNAN KATONG
DAN PAKU WOJO SECARA BERSAMAAN
Oleh    : M. Samsul Ulum
Nim     : 123911065

Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin), Han Bie Yan (Kyai Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).
Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangkan memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahkan disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.
Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-Islamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antar keduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.
Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi nama Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia berada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau Gunung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya dengan Kendalsari.
Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata Kendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura.
Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan.
Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa.
Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan, yang dianggap aliran paku wojo sebagai aliran Hitam. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh). Cerita ini yang menyebabkan banyak berfikiran Sunan katong berilmu putih sedangkan paku wojo berilmu hitam yang menyebabkan warga sekitar dan isunya dilarang ziarah secara bersamaan, namun cerita itu belum tentu benar.
Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam. Dan sampai sekarang banyak para ziarah yang berdatangan ketika bulan syawal telah tiba. Pada waktu memasuki bulan Syawal atau tepatnya 7 hari setelah lebaran, masyarakat Indonesia pada umumnya atau masyarakat Kaliwungu Kendal pada khususnya, ada semacam tradisi yang terus berlanjut sampai saat ini. Tradisi tersebut dikenal dengan nama tradisi Syawalan. Syawalan yaitu satu bentuk tradisi untuk memperingati seminggu setelah hari Raya Idhul Fitri, yang biasanya oleh masyarakat setempat digunakan untuk berziarah ke tempat makam-makam orang yang sangat berpengaruh (figur yang dikultuskan pada suatu daerah tertentu). Di Kaliwungu Kendal, acara tersebut dirayakan di sekitar Aloon-aloon (depan Masjid Agung) sampai dengan tempat makam Sunan Katong, Kyai Asyari (Kyai Guru) maupun tempat yang agak jarang dikunjungi seperti makam Empu Paku Wojo.


Komentar

Postingan Populer